Amin Whae | 2025
Foto : indonesiavoice.com
Setiap bulan Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan dengan penuh semarak. Bendera Merah Putih berkibar seantero negeri, pidato-pidato nasionalisme memenuhi ruang publik, dan masyarakat turut bergembira merayakan momen bersejarah ini. Namun, dalam hiruk-pikuk perayaan itu, umat Islam patut merenung: Apakah kita benar-benar telah merdeka?
Dalam pandangan Islam, kemerdekaan bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari penjajahan batin. Rasulullah SAW bersabda:
"Musuh yang paling berbahaya adalah nafsumu sendiri yang berada di antara dua sisi tubuhmu." (HR. Al-Baihaqi)
Kemerdekaan sejati adalah saat seorang hamba hanya tunduk kepada Allah SWT, bukan kepada hawa nafsu, kekuasaan, atau godaan dunia. Namun sayangnya, hari ini kita menyaksikan banyak umat Islam yang secara lahiriah bebas, tetapi masih terjajah secara mental dan moral. Kita melihat tingginya angka korupsi, merosotnya integritas, dan maraknya gaya hidup konsumtif yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat bahwa potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai lebih dari Rp45 triliun. Ironisnya, pelaku utamanya justru berasal dari kalangan yang notabene berpendidikan dan beragama. Ini menjadi cermin bahwa syariat belum benar-benar hadir dalam laku hidup sehari-hari, meskipun mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam.
Dalam bidang pendidikan, Indonesia masih tertinggal dalam hal literasi. Berdasarkan laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, Indonesia menempati urutan ke-72 dari 81 negara dalam kemampuan membaca. Artinya, kebebasan yang dimiliki belum dibarengi dengan kesungguhan dalam membangun kualitas manusia Indonesia. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama, terutama umat Islam sebagai mayoritas, untuk mengambil peran dalam mencerdaskan dan membebaskan umat dari kebodohan dan kemiskinan pemikiran. Buya Hamka pernah mengingatkan:
"Penjajahan yang paling kejam bukanlah penjajahan asing, tapi penjajahan terhadap jiwa dan pikiran."\
Hari ini, kita menyaksikan penjajahan semacam itu hadir dalam bentuk sikap apatis, perpecahan umat karena perbedaan kecil, serta hilangnya semangat kolektif untuk membangun bangsa. Persatuan umat seringkali dikorbankan demi ego kelompok dan fanatisme identitas. Padahal Allah SWT telah menegaskan:
"Sesungguhnya (agama) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku." (QS. Al-Mu’minun: 52)
Sebagai umat Islam, kita harus menyadari bahwa kemerdekaan adalah amanah yang besar. Ia diperjuangkan oleh para pahlawan dan ulama dengan darah dan pengorbanan, bukan sekadar untuk diisi dengan pesta dan lomba. Rasulullah SAW sendiri adalah contoh pemimpin yang mencintai tanah kelahirannya. Ketika berhijrah dari Makkah, beliau berkata:
"Betapa aku mencintaimu (wahai Makkah)! Andaikan bukan karena aku diusir darimu, aku tidak akan meninggalkanmu." (HR. Tirmidzi)
Cinta tanah air dalam Islam bukan hanya dibolehkan, tapi merupakan bentuk tanggung jawab moral. Maka tugas kita sebagai umat Islam bukan sekadar menikmati kemerdekaan, tapi juga mengisinya dengan kerja nyata: berdakwah dengan hikmah, menebarkan ilmu, menegakkan keadilan, dan menjaga akhlak masyarakat. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berkata:
“Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi karena lilin-lilin di desa yang terus menyala.”
Maka mari kita menjadi lilin-lilin itu, menyala di lingkungan masing-masing, menjadi penerang di tengah umat, dan terus berjuang agar kemerdekaan ini benar-benar bermakna. Merdeka bukan hanya soal status negara, tetapi soal kondisi hati dan amal kita. Jika masih banyak umat yang hidup dalam kebodohan, kefakiran, dan keterpecahan, maka kemerdekaan itu belum sempurna.
Kini saatnya kita bertanya, dengan penuh sadar dan jujur: Apakah kita benar-benar merdeka? Dan jika jawabannya belum, maka mari kita isi kemerdekaan ini dengan iman, ilmu, dan perjuangan. (aminwhae)
Amin Whae | 2025
Foto : jurnalistik.tsirwah.com
Rasulullah Muhammad SAW menyatakan bahwa salah satu risalah utama kerasulannya adalah untuk menyempurnakan akhlaq ummatnya, sebagaimana sabdanya :
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq."
Perjuangan Rasulullah yang penuh pengorbanan, dari keringat hingga darah, semuanya demi satu tujuan: agar umat manusia dapat memiliki kesempurnaan akhlaq. Dalam setiap ilmu yang kita pelajari, dan setiap ibadah yang kita lakukan, tujuan akhirnya adalah untuk mencapai akhlaqul karimah. Oleh karena itu, jika kita ingin mengukur kesuksesan hidup, tolok ukurnya adalah akhlaqul karimah kita.
Siapa pun yang memiliki pemahaman yang benar tentang Islam, maka itu akan tercermin dalam akhlaqnya. Siapa pun yang memiliki iman yang sempurna, ia akan menunjukkan akhlaq yang sempurna pula. Dan siapa pun yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, pasti memiliki akhlaq yang mulia. Untuk itu, bangsa ini tidak akan pernah memiliki martabat kecuali dengan memulai dari pembangunan moral atau akhlaq.
Akhlaq Mulia Bermula dari Keyakinan Akan Kehadiran Allah
Memiliki kemuliaan akhlaq dimulai dengan keyakinan bahwa Allah selalu bersama kita.
"Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Allah selalu dekat dengan kita, di mana pun kita berada. Jika kita memiliki keyakinan bahwa Allah itu qoriib (Maha Dekat), As-Sami’ (Maha Mendengar), dan Al-Bashir (Maha Melihat), kita akan menjadi orang yang ikhlas.
Orang yang ikhlas adalah orang yang paling bahagia, paling mulia, dan paling selamat hidupnya. Indikator keikhlasan seseorang adalah kesamaan sikap dan perbuatan, baik ada orang yang melihat maupun tidak. Jika kita yakin bahwa Allah selalu melihat apa yang kita lakukan, maka segala perbuatan kita akan didasarkan pada niat hanya untuk meraih ridha-Nya.
Orang yang ikhlas tidak akan terlalu menghiraukan penilaian orang lain. Mereka tidak akan sibuk dengan pencitraan, karena mereka yakin bahwa Allah melihat hati dan amal perbuatan mereka. Mereka hanya fokus pada penyucian hati dan perbaikan amal perbuatan.
Kejujuran Sebagai Pondasi Kesuksesan
Keikhlasan yang dimiliki seseorang juga melahirkan karakter jujur. Orang yang yakin bahwa Allah selalu melihat segala perbuatannya, tidak akan berani untuk melakukan ketidakjujuran.
"Kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun jalan ke surga."
Rasulullah SAW memulai kehidupan beliau dengan gelar Al-Amin, yang berarti orang yang jujur dan terpercaya. Setiap kata beliau adalah benar, setiap janji beliau selalu ditepati, dan setiap amanah beliau tidak pernah dikhianati. Kejujuran adalah kunci sukses dalam setiap aspek kehidupan, dan ketidakjujuran adalah awal dari kehancuran.
Negeri mana pun yang diberkahi dengan kesejahteraan, itu adalah buah dari karakter jujur yang dimiliki oleh bangsanya. Maka, marilah kita semua menjaga dan menumbuhkan karakter jujur, setidaknya jujur kepada diri kita sendiri.
Pentingnya Kejujuran dalam Kehidupan
Ingatlah bahwa orang lain menghargai dan menghormati kita, bukan karena topeng atau kamuflase ketidakjujuran kita, melainkan karena Allah telah menutupi aib dan keburukan kita. Orang yang tidak jujur akan terus sibuk dengan topengnya, padahal apalah artinya jika penampilan luar begitu indah, sementara di dalamnya terdapat keburukan?
Mari kita sadar, bahwa penghargaan orang lain kepada kita adalah karena Allah menutupi kekurangan kita. Jika kita berani jujur kepada diri sendiri, kita tidak akan bangga dihormati oleh orang lain karena mereka tidak menghormati diri kita yang sebenarnya, melainkan topeng kita.
Bermanfaat untuk Sesama
Islam mengajarkan kita untuk peduli terhadap sesama. Sehebat apapun ibadah kita, jika kita tidak peduli terhadap kesulitan orang lain, kita termasuk orang yang mendustakan agama, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
"Apakah kamu tahu tentang orang yang mendustakan agama? Mereka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mengajak memberi makan orang miskin." (QS Al-Ma’un)
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang Muslim, melepaskan kesulitannya, membayar hutangnya, atau memberi makan orang yang lapar."
Oleh karena itu, mari kita pupuk kepekaan sosial dan kepedulian terhadap orang sekitar, terutama di masa-masa sulit seperti sekarang ini, di tengah pandemi yang telah membuat banyak saudara-saudara kita terdampak. Banyak yang kehilangan pekerjaan, dagangannya tidak laku, dan kesulitan ekonomi lainnya. Marilah kita berusaha memberi manfaat kepada orang lain, karena Allah sangat menyukai orang yang bermanfaat bagi sesama.
Mengukur Kesuksesan
Apalah artinya banyak ilmu jika tidak bermanfaat bagi orang lain? Apalah artinya harta jika tidak memberi manfaat? Kesuksesan seseorang tidak diukur dari apa yang mereka miliki, tetapi dari seberapa banyak manfaat yang bisa mereka berikan kepada orang lain.
Mari kita ukur kesuksesan kita bukan dari kekayaan, gelar, jabatan, atau kekuasaan, tetapi dari seberapa banyak orang lain yang merasakan manfaat dari keberadaan kita. Semoga kita semua dapat menjadi manusia yang dicintai Allah karena mampu memberi banyak manfaat bagi orang lain. (aminwhae)
Amin Whae | 2025
Foto : ilustrasi/thinkstock
Seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan berbagai bentuk penyimpangan dan kejahatan semakin merebak di negeri ini. Dari media massa, elektronik, hingga media sosial, hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang korupsi di kalangan pejabat, kolusi antara penguasa dan pengusaha, mafia hukum dan peradilan, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, kehancuran rumah tangga, serta beragam tindakan kriminal lainnya.
Fenomena ini tidak hanya menyedihkan, tetapi juga mengkhawatirkan dan mengancam masa depan kita bersama. Kejahatan-kejahatan itu bukan sekadar problem sosial, tetapi juga bisa menjadi penyebab kehancuran moral, spiritual, dan bahkan membawa dampak hingga ke akhirat kelak.
Jika kita cermati, akar dari banyak masalah tersebut bersumber dari satu hal mendasar yaitu hilangnya kejujuran dalam kehidupan masyarakat. Kejujuran yang dulu menjadi ciri orang mulia, kini telah menjadi sesuatu yang langka dan asing.
Di berbagai aspek kehidupan, ketidakjujuran muncul begitu mudah. Di rumah, suami istri bisa saling menyembunyikan kebenaran. Anak-anak berbohong kepada orang tuanya. Di pasar, banyak pedagang mengurangi takaran atau menipu kualitas barang. Di kantor, tak sedikit pegawai yang curang dalam menjalankan tugasnya. Bahkan di dunia pendidikan, nilai bisa direkayasa dan prestasi dimanipulasi. Ironisnya, bahkan dalam kegiatan keagamaan pun kadang kita menemukan ketidakjujuran yang terselubung.
Kejujuran yang seharusnya menjadi tiang penyangga moral masyarakat, kini justru dianggap sebagai kelemahan. Orang yang jujur dianggap lugu, tidak pintar membaca situasi, atau tidak mampu bermain cantik di tengah dunia yang keras.
Padahal, Rasulullah Muhammad SAW manusia paling mulia, dikenal sejak muda sebagai sosok yang jujur dan terpercaya. Gelar Al-Amin bukan hanya sekadar simbol, tetapi cerminan nyata dari karakter beliau. Beliau tidak hanya menyeru kepada kejujuran, tapi juga menjadikannya prinsip hidup dalam setiap aspek.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
"Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke surga. Dan jauhilah kebohongan, karena kebohongan membawa kepada dosa, dan dosa akan menggiring ke neraka."
Hadits ini menjelaskan betapa eratnya hubungan antara kejujuran dengan keselamatan hidup. Jujur adalah jalan menuju kebaikan dan surga. Sebaliknya, bohong adalah jalan menuju kehancuran dan neraka. Maka, siapa pun yang mengaku mengikuti ajaran Rasulullah, sudah semestinya menjadikan kejujuran sebagai karakter dasar dalam hidupnya.
Kejujuran tidak bisa muncul hanya dari lisan, tapi harus ditanamkan dalam hati, diwujudkan dalam perbuatan, dan dijaga dalam setiap kondisi. Tidak ada ruang untuk berdusta, kecuali dalam tiga hal yang memang diperbolehkan secara syar’i yakni sebagai siasat perang, dalam mendamaikan orang yang berselisih, dan menjaga keharmonisan rumah tangga, itu pun dengan batasan dan kehati-hatian.
Orang-orang jujur memiliki orientasi hidup yang jelas. Tujuan utama mereka bukan dunia, bukan harta, bukan jabatan, melainkan ridha Allah dan surga-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Qamar: 54–55:
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai (di surga), di tempat yang penuh kenikmatan, di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa."
Sebaliknya, orang-orang yang terbiasa berdusta hanya berorientasi pada kenikmatan dunia. Mereka akan melakukan segala cara demi ambisi pribadi, tanpa peduli halal-haram, benar-salah, bahkan tanpa rasa malu terhadap Allah sekalipun. Ketika kebohongan menjadi karakter, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Karena itu, sudah saatnya kita mulai dari diri sendiri dan keluarga kita untuk menumbuhkan karakter jujur. Bangun kejujuran sebagai prinsip hidup, bukan hanya karena takut dosa, tapi karena sadar bahwa inilah jalan keselamatan dan kemuliaan sejati. Jangan tertipu oleh pencitraan kosong. Sebab, sehebat apapun seseorang membungkus kebohongan, ia pasti akan terbongkar juga pada akhirnya.
Allah SWT menegaskan dalam QS At-Taubah: 119:
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur."
Ayat ini mengajarkan bahwa kejujuran bukan hanya sebuah tindakan, tapi juga identitas. Kita diperintahkan untuk bersama orang-orang jujur, menjadikan mereka sahabat, panutan, dan lingkungan yang menumbuhkan keimanan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi kita kekuatan untuk memegang teguh nilai kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, serta menjauhkan kita dari segala bentuk kebohongan dan kemunafikan (aminwhae)