Amin Whae | 2025
Foto : ImagesiStockphotoBoonyachoat
Di era digital yang serba cepat, banyak orang cerdas tetapi kehilangan arah moral. Padahal, Islam menempatkan etika, moral, dan akhlak sebagai fondasi kehidupan yang beradab. Nilai-nilai inilah yang membedakan manusia beriman dari sekadar manusia berpengetahuan.
Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Etika: Pedoman Berpikir dan Bertindak
Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti kebiasaan atau karakter. Dalam Islam, etika adalah pedoman untuk menilai baik dan buruk berdasarkan akal sehat dan wahyu.
Etika membantu manusia berpikir rasional dan bertindak benar. Tanpa etika, kecerdasan hanya menjadi alat pembenaran hawa nafsu.
Ada dua jenis etika :
Etika deskriptif, menggambarkan perilaku manusia sebagaimana adanya.
Etika normatif, memberikan tuntunan tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak.
Moral : Cerminan Nilai Sosial
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat atau kebiasaan. Moral adalah nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat tentang baik dan buruk.
Jika etika bersifat rasional, maka moral bersifat sosial. Etika mengajarkan “mengapa sesuatu baik”, sedangkan moral mengajarkan “bagaimana berbuat baik dalam kehidupan bersama”.
Namun moral bersifat relatif, tergantung budaya. Karena itu, Islam memberikan pedoman moral universal melalui Al-Qur’an dan Sunnah agar nilai kebaikan tidak ditentukan oleh selera manusia, tetapi oleh wahyu Allah SWT.
Akhlak : Inti dari Keimanan
Akhlak berasal dari kata khuluqun yang berarti tabiat atau watak. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang membuat seseorang mudah berbuat baik.
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak adalah perilaku yang lahir dari hati yang bersih tanpa paksaan.
Dalam Islam, akhlak terbagi menjadi dua :
Akhlak mahmudah (terpuji): seperti jujur, sabar, rendah hati, amanah, dan dermawan.
Akhlak madzmumah (tercela): seperti sombong, iri, dengki, dan dusta.
Akhlak bukan sekadar teori, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan — baik kepada Allah, diri sendiri, sesama manusia, maupun lingkungan.
Menjalani Hidup dengan Etika, Moral, dan Akhlak
Etika menuntun cara berpikir, moral mengatur cara bertindak, dan akhlak menyucikan hati. Ketiganya tidak boleh dipisahkan.
Manusia yang beretika saja mungkin terlihat sopan, tapi belum tentu tulus.
Manusia bermoral bisa diterima masyarakat, tapi belum tentu benar di sisi Allah.
Namun manusia berakhlak akan baik di mata manusia dan mulia di hadapan Tuhannya. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini
Amin Whae | 2025
Foto : bai.org
Syariah sering dipahami hanya sebatas hukum atau aturan yang kaku. Padahal, secara bahasa syariah berarti “jalan menuju sumber air”, yaitu jalan yang menghidupkan. Dalam Islam, syariah adalah pedoman lengkap yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, dan juga dengan alam.
Syariah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Para ulama kemudian menjelaskannya dalam bentuk fiqh agar lebih mudah dipahami dan dipraktikkan sehari-hari. Dari sinilah lahir berbagai mazhab fiqh, seperti Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Walaupun ada perbedaan detail, semuanya berpijak pada sumber yang sama.
Mengapa Syariah Itu Penting ?
Syariah membantu muslim membedakan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dalam Islam, setiap perbuatan dikategorikan ke dalam lima hukum: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dengan panduan ini, hidup jadi lebih terarah.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga...” (QS. An-Nisa: 13). Jadi, mengikuti syariah bukan sekadar menjalankan aturan, tetapi jalan menuju kebahagiaan sejati.
Inti Syariah : Ibadah
Ibadah adalah jantung dari syariah. Ada ibadah khusus seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, serta ibadah umum yaitu segala aktivitas yang diniatkan karena Allah.
Shalat disebut tiang agama. Rasulullah bersabda bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Puasa melatih kesabaran dan pengendalian diri agar tumbuh ketakwaan. Zakat membersihkan harta sekaligus menumbuhkan solidaritas sosial. Thaharah (bersuci) bukan hanya soal ritual, tapi juga pendidikan hidup bersih.
Semua ini menunjukkan bahwa ibadah bukan sekadar ritual, tapi latihan hidup yang membentuk pribadi muslim.
Syariah dan Kehidupan Modern
Banyak orang mengira syariah hanya berlaku di masa lalu. Padahal prinsip-prinsipnya sangat relevan dengan kehidupan sekarang.
1. Bisnis dan Ekonomi
Syariah menekankan keadilan dan kejujuran. Dalam praktik modern, lahir perbankan syariah, asuransi syariah, hingga investasi syariah. Semua itu berusaha menjaga transaksi dari riba, penipuan, dan spekulasi berlebihan. Prinsipnya jelas: mencari rezeki halal yang membawa keberkahan.
2. Teknologi Digital
Di era media sosial, syariah membimbing kita untuk bijak. Tidak menyebar hoaks, menjaga etika komunikasi, dan berhati-hati sebelum membagikan sesuatu. Allah berfirman: “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra: 36).
3. Gaya Hidup
Syariah hadir dalam hal sederhana: makan makanan halal, berpakaian sopan, hidup sederhana, dan tidak berlebihan. Prinsip hidup seimbang ini justru membuat seorang muslim mampu menghadapi modernitas tanpa kehilangan jati diri.
4. Sosial dan Lingkungan
Islam sangat peduli dengan hubungan sosial dan kelestarian alam. Allah berfirman: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-A’raf: 56). Itu artinya menjaga lingkungan, hemat energi, dan peduli pada sesama juga bagian dari ibadah jika diniatkan karena Allah.
Syariah Itu Jalan, Bukan Beban
Syariah tidak dimaksudkan untuk menyulitkan, melainkan memudahkan. Ia adalah panduan agar hidup lebih terarah, adil, dan bermakna. Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit dirinya dalam agama melainkan ia akan dikalahkan (oleh kesulitannya sendiri).”
Karena itu, syariah harus dipahami sebagai jalan yang membawa rahmat, bukan beban yang menekan.
Penutup
Syariah adalah pedoman hidup yang mencakup ibadah, akhlak, sosial, ekonomi, hingga lingkungan. Ia hadir bukan hanya untuk mengatur, tetapi untuk menjaga keseimbangan hidup manusia. Allah berfirman: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Dengan menjalani syariah secara menyeluruh, seorang muslim tidak hanya dekat dengan Allah, tetapi juga bermanfaat bagi sesama dan alam sekitarnya. Inilah makna sejati dari syariah: jalan hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini
Amin Whae | 2025
Foto : id.pinterest.com/mohsin_fsd
Setiap manusia lahir dengan fitrah untuk mencari Tuhan. Naluri ini menuntun kita agar tidak berhenti pada dugaan, tetapi menemukan keyakinan yang benar. Dalam Islam, keyakinan itu disebut aqidah, yaitu ikatan hati yang meneguhkan iman dan menenangkan jiwa. Aqidah bukan sekadar rasa percaya, melainkan keyakinan yang mendorong setiap muslim untuk berkata, bersikap, dan berbuat sesuai dengan apa yang diyakininya.
Iman dalam Islam tidak berhenti pada ucapan. Ia mencakup tiga hal: diucapkan dengan lisan, diyakini dalam hati, dan dibuktikan dengan perbuatan. Karena itu, seorang muslim disebut beriman bukan hanya karena ia percaya, tetapi karena kepercayaannya hidup dalam amal sehari-hari. Aqidah Islam menjadi pondasi seluruh ajaran. Tanpa aqidah, amal kebaikan tidak memiliki makna. Dari sinilah seorang muslim terikat untuk hidup sesuai dengan hukum dan aturan Allah. Al-Qur’an menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Aqidah memberi arah hidup, menghadirkan ketenangan, dan menjadi pedoman yang pasti. Keyakinan ini juga menumbuhkan sifat-sifat mulia seperti kejujuran, keteguhan, keberanian, serta rasa optimis. Sebaliknya, lemahnya aqidah membuat manusia mudah putus asa, goyah, bahkan terseret ke dalam kesesatan.
Keimanan seseorang bisa berbeda-beda. Ada yang sekadar ikut-ikutan, ada yang yakin berdasarkan dalil, ada pula yang mencapai keyakinan mendalam sehingga hatinya teguh dan tidak tergoyahkan. Tingkatan tertinggi adalah haqqul yaqin, yakni keyakinan yang bukan hanya dipahami secara rasional, tetapi juga dirasakan melalui pengalaman spiritual.
Rukun iman menjadi wujud konkret aqidah Islam: beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar. Setiap keyakinan ini memiliki dampak nyata bagi perilaku seorang muslim. Misalnya, iman kepada malaikat membuat seseorang lebih berhati-hati, karena ia sadar semua amal dicatat. Iman kepada hari kiamat menumbuhkan sikap optimis, sebab setiap usaha akan mendapatkan balasan yang adil. Sedangkan iman kepada takdir melahirkan keteguhan hati, sabar, dan tawakal tanpa kehilangan semangat untuk berusaha.
Semua keyakinan itu bermula dari syahadat, pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Syahadat bukan sekadar kalimat, melainkan pernyataan iman yang membuka pintu menuju seluruh ajaran Islam. Seorang muslim yang telah mengucapkan syahadat berarti berjanji menerima seluruh wahyu yang Allah turunkan melalui Rasulullah.
Aqidah Islam bukan teori yang berhenti di kepala, melainkan fondasi hidup yang menuntun hati, ucapan, dan tindakan. Ia melahirkan keteguhan dalam menghadapi cobaan, ketenangan dalam menjalani hidup, serta keyakinan bahwa setiap amal memiliki arti di hadapan Allah. Dengan aqidah yang benar, seorang muslim akan menjalani hidup penuh makna, optimis menatap masa depan, dan yakin bahwa kebahagiaan sejati menantinya di akhirat. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini
Amin Whae | 2025
Foto : mui.or.id
Sumber hukum Islam adalah seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama lslam.
Yang dimaksud seperangkat peraturan tersebut adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
Terdapat tiga sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad.
1. Al-Quran
Al-Quran berasal dari kata qara-a yang berarti bacaan atau yang dibaca. Secara termonilogis Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi terakhir Muhammad SAW, melalui perantaraan malaikat Jibril. Al-Quran tertulis dalam mushaf dan sampai kepada manusia secara mutawatir. Membacanya bernilai ibadah, diawali dengan Surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
Pertama, Al-Quran adalah kalamullah atau firman Allah, bukan ucapan Nabi atau manusia lainnya. Tidak ada sepatah katapun ucapan Nabi dalam Al-quran. Pada saat Al-Quran diturunkan, Nabi melarang para sahabatnya untuk menghafal, mencatat atau mengumpulkan sabda beliau. Beliau hanya menyuruh menulis dan menghafal ayat-ayat Al-Quran. Hal ini semata-mata untuk menjaga kemurnian firman Allah. Dengan demikian tidak ada bukti sama sekali pandangan kaum orientalis yang mengatakan Al-Quran sebagai karangan Nabi.
Kedua, Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu Muhammad bin Abdullah yang dilahirkan di Makah pada tahun 571 M, Rasul yang terakhir, penutup segala wahyu yang diturunkan Allah ke muka bumi.
Ketiga, Al-Quran diturunkan Allah melalui perantaraan malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari kepada Nabi Muhammad SAW.
Keempat, Al-Quran dikumpulkan dalam mushaf yang sejak masa turunnya dihafalkan dan dituliskan oleh para sahabat kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf seluruhnya berisi 114 surat dan lebih dari 6200 ayat.
Kelima, Al-Quran sampai kepada umat Islam secara mutawatir, atau terus menerus diturunkan dari generasi ke generasi dalam keadaan tetap dan terjaga, baik huruf maupun kalimat-kalimat yang ada di dalamnya, sehingga keaslian Al-Quran tetap terjamin sepanjang masa.
Keenam, membaca Al-Quran bernilai ibadah bagi yang membaca dan yang mendengarnya. Hal ini berarti membaca Al-Quran merupakan bentuk kegiatan ritual yang bernilai ibadah sekalipun pembaca atau pendengarnya tidak mengetahui arti yang dibacanya.
Ketujuh, Al-Quran dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-Nas. Ini mengandung arti bahwa susunan surat dan ayat Al-quran bersifat tetap sejak diturunkannya sampai akhir zaman. Sejak diturunkannya sampai sekarang yang telah berusia hampir limabelas abad. Isi, susunan surat, ayat dan bacaan Al-Quran sama. Tidak ada dan tidak akan pernah ada versi yang lain.
2. As-Sunnah
Sunnah menurut bahasa adalah perjalanan, pekerjaan atau cara. Menurut istilah, sunnah berarti perkataan Nabi SAW, perbuatan dan ketetapannya (taqrir, yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat sahabat dan ditetapkan oleh Nabi).
Berdasar definisi di atas, sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu :
Sunnah Qauliyah, adalah sunnah dalam bentuk perkataan atau ucapan Rasullah SAW yang menerangkan hukum-hukum dan maksud Al-Quran.
Sunnah Fi’liyah, yaitu sunnag dalam bentuk perbuatan yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara wudhu, shalat dan sebagainya.
Sunnah Taqririyah, adalah ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi SAW atas perkataan atau perbuatan sahabat, tidak ditegur atau dilarangnya.
Sunnah sering juga disebut hadits, ada yang membedakan antara hadits dengan sunnah. Hadits adalah sunnah qauliyah, sedangkan sunnah fi’liyah dan taqririyah bukanlah hadits melainkan sunnah saja. Namun secara umum hadits diartikan sama dengan sunnah.
3. Ijtihad
Al-Quran berisi aturan-aturan atau hukum-hukum yang bersifat global, karena itu maksud Al-Quran dijelaskan oleh As-Sunnah. Sekalipun demikian, masih banyak persoalan yang dihadapi oleh manusia yang tidak ditetapkan secara pasti dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Misalnya, kebudayaan manusia yang dari waktu ke waktu terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Disini diperlukan hukum yang yang mengatur manusia agar tidak keluar dari syariat. Untuk itu diperlukan kajian terus menerus terhadap Al-Quran dan As-Sunnah secara pasti.
Dalam menetapkan hukum yang belum diatur secara pasti dalam Al-Quran dan As-Sunnah, manusia didorong untuk menggunakan akal pikirannya (rakyu). Akal pikiran digunakan dalam menetapkan hukum melalui ijtihad.
Ijtihad berarti menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan hukum syara dengan jalan mengeluarkan hukum dari Kitab dan Sunnah. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, yaitu ahli fiqh yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkutan kuat (dzan) terhadap suatu hukum agama dengan jalan istimbat dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Kebenaran hasil ijtihad tidak bersifat mutlak, melainkan dzanniyah (persangkaan kuat kepada benar). Oleh karena itu mungkin saja antara satu mujtahid dengan mujtahid lain hasilnya berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pengalaman, ilmu serta adat kebiasaan yang berpengaruh kepada hasil ijtihad mereka. Bahkan bisa saja hasil ijtihad di suatu tempat berbeda dengan hasil ijtihad di tempat yang lain, karena seorang mujtahid tidak terlepas dari lingkungan budayanya dan pada akhirnya berpengaruh kepada hasil ijtihadnya. Demikian pula hasil ijtihad yang dilakukan pada suatu waktu dapat berbeda dengan hasil yang didapatkan pada waktu yang lain. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini
Amin Whae | 2025
Foto : merdeka.com
Bayangkan fitrah sebagai kompas batin: meski badai pendapat dan arus budaya menerjang, kompas itu tetap ada. Saat manusia mencari jati diri, membangun relasi, dan menapaki jalan hidup, mengenali dan memelihara fitrah menjadi fondasi agar kehidupan tidak kehilangan arah.
Makna fitrah
1. Kejadian islami
Fitrah manusia sejak awal adalah kejadian islami. Maksudnya, manusia dilahirkan dalam keadaan yang selaras dengan nilai-nilai Islam, yakni tauhid dan kesucian jiwa. Keselarasan ini bukanlah hasil proses belajar, melainkan bawaan asli sejak lahir. Karena itu, sekalipun seseorang lahir di lingkungan non-muslim, ia tetap memiliki kecenderungan mendasar untuk mencari Tuhan yang Esa. Contoh sederhana adalah rasa tenteram ketika mengingat Allah, atau rasa bersalah ketika berbuat dosa. Itu bukan sekadar hasil pendidikan, tetapi bagian dari struktur bawaan jiwa manusia.
2. Kesiapan menerima agama
Selain dilahirkan dalam keadaan islami, manusia juga dibekali kesiapan untuk menerima agama. Inilah yang membuat seseorang, betapapun keras hati atau logis cara berpikirnya, pada dasarnya mampu menerima nilai-nilai ilahiah. Kesiapan ini sering muncul ketika seseorang berada dalam situasi sulit atau saat menghadapi persoalan eksistensial: ia secara spontan kembali kepada Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, kesiapan menerima agama terlihat dari rasa kagum terhadap kebaikan, rasa rindu pada ketenangan spiritual, atau keinginan untuk kembali ke jalan yang lurus setelah sempat jauh.
3. Penentangan terhadap kebatilan
Fitrah tidak hanya pasif menerima kebenaran, tetapi juga aktif menolak kebatilan. Ini tercermin dalam rasa tidak nyaman ketika menyaksikan ketidakadilan, korupsi, atau penindasan. Bahkan orang yang belum mengenal agama sekalipun bisa menentang kebohongan dan kezaliman, karena fitrah menolak segala bentuk penyimpangan. Dalam praktik kehidupan, penentangan terhadap kebatilan bisa tampak dari sikap jujur meski dirugikan, keberanian menyuarakan kebenaran, atau keengganan menutup mata terhadap kesalahan yang nyata.
4. Pembedaan antara benar dan salah
Fitrah juga berfungsi sebagai cahaya moral yang menuntun manusia membedakan mana yang benar dan salah. Inilah yang dalam bahasa sehari-hari sering kita sebut sebagai “suara hati.” Suara hati ini, meskipun terkadang diabaikan, selalu memberi tanda ketika kita berada di persimpangan. Misalnya, rasa tenang yang muncul setelah memilih jalan yang benar, atau rasa gelisah yang terus menghantui ketika kita sengaja memilih jalan yang salah. Kemampuan membedakan ini menjadi modal dasar bagi manusia untuk menegakkan keadilan, menunaikan tanggung jawab, dan menjaga hubungan baik dengan sesama.
Dalil :
Al-Qur’an menegaskan: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rûm: 30).
Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan bahwa setiap manusia lahir atas fitrahnya, orang tua dan lingkungannyalah yang membentuk arahnya. Dalil ini menunjukkan bahwa fitrah adalah dasar yang suci, tetapi lingkungan berperan besar dalam menentukan apakah fitrah tetap hidup atau tertutup.
Menjaga dan mengembangkan fitrah
Menjaga fitrah tidaklah otomatis, ia membutuhkan usaha sadar. Salah satu caranya adalah dengan merawat hati melalui ibadah yang konsisten. Ketika seseorang meluangkan waktu untuk shalat, membaca Al-Qur’an, atau berdzikir, sesungguhnya ia sedang menyiram benih fitrah agar tetap tumbuh. Sebaliknya, jika hati dibiarkan kosong dari ingatan kepada Allah, fitrah bisa tertutupi oleh nafsu dan kelalaian.
Selain ibadah, lingkungan yang baik juga sangat menentukan. Berada di tengah orang-orang yang berakhlak mulia akan memudahkan seseorang untuk menjaga fitrah. Sebaliknya, pergaulan yang buruk cenderung menumpulkan sensitivitas moral. Maka memilih teman, komunitas, bahkan budaya yang kita konsumsi, akan berpengaruh pada kejernihan fitrah.
Ilmu dan pengetahuan pun dapat menjadi sarana pemelihara fitrah. Ketika seseorang belajar dengan niat ibadah dan mengaitkannya dengan nilai-nilai ilahiah, ilmunya menjadi cahaya yang memperkuat fitrah. Namun bila ilmu dilepaskan dari nilai moral, justru bisa menutupi fitrah dan membawa pada kesombongan.
Menjaga fitrah juga berarti berani mendengarkan suara hati. Banyak orang tahu apa yang benar, tetapi memilih untuk menutupinya karena takut rugi atau kehilangan kesempatan. Padahal, keberanian mengikuti suara hati adalah bentuk nyata dari memelihara fitrah. Dengan begitu, fitrah tetap hidup dan menjadi cahaya yang membimbing kehidupan sehari-hari.
Penutup
Fitrah adalah anugerah Allah yang melekat sejak lahir. Ia meliputi kejadian islami, kesiapan menerima agama, penentangan terhadap kebatilan, serta kemampuan membedakan benar dan salah. Menjaga fitrah berarti menjaga identitas terdalam manusia sebagai hamba Allah. Fitrah bisa tertutupi oleh dosa dan kelalaian, tetapi ia tidak pernah benar-benar padam. Tugas kita adalah terus membersihkan dan merawatnya, agar hidup selalu berada di jalan yang benar. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini
Amin Whae | 2025
Foto : liputan6.com
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang memerlukan pedoman hidup. Tanpa adanya pedoman, manusia akan mudah terseret oleh arus nafsu, budaya, dan kepentingan sesaat yang dapat menjauhkan mereka dari tujuan hakiki kehidupan. Pedoman itu dalam Islam disebut dīn, yaitu aturan hidup yang diturunkan oleh Allah Swt. melalui para nabi dan rasul-Nya, dan disempurnakan melalui Nabi Muhammad SAW. Agama itu dikenal sebagai Dinul Islam.
Bagi umat Islam, khususnya mahasiswa, pemahaman tentang Dinul Islam sangatlah penting. Dunia pendidikan tinggi bukan hanya tempat menimba ilmu teknis dan keterampilan, tetapi juga tempat menanamkan nilai, sikap, dan etika hidup. Dinul Islam memberi panduan menyeluruh, mulai dari bagaimana manusia menjalin hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, hingga dengan alam semesta. Sehingga, seorang mahasiswa muslim diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Definisi Dinul Islam
Menurut bahasa, Dinul Islam berasal dari bahasa Arab, gabungan dari kata ad-dīn yang berarti agama, aturan, sistem hidup, atau ketaatan; dan kata al-Islam yang berarti perdamaian, kesejahteraan, keselamatan, serta sikap berserah diri. Dengan demikian, Dinul Islam secara bahasa bermakna agama yang membawa kepada kedamaian, kesejahteraan, dan keselamatan melalui sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt.
Sedangkan menurut Istilah, Dinul Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW. untuk disampaikan kepada segenap umat manusia agar memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Imam al-Baidhawi mendefinisikan Islam sebagai penyerahan diri dan tunduk sepenuhnya kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Hal ini menegaskan bahwa Dinul Islam bukan sekadar identitas formal, melainkan sebuah sikap tunduk, taat, dan berserah diri total kepada Allah dengan mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW.
Hakikat dan Tujuan Dinul Islam
Allah mengutus Nabi Muhammad SAW. membawa risalah Dinul Islam untuk memurnikan tauhid, yaitu mempercayai dan meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan (monoteisme), yakni Allah Swt. Karenanya, Islam disebut juga sebagai agama tauhid. Dalil yang menegaskan keesaan Allah terdapat dalam QS. Al-Ikhlas ayat 1–4:
“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Hakikat Dinul Islam adalah agama yang paripurna, mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur akidah, ibadah, akhlak, muamalah, serta memberi pedoman bagaimana manusia hidup berdampingan secara damai dan adil. Tujuan Islam adalah menghadirkan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, baik secara individu maupun kolektif.
Dinul Islam sebagai Agama Tauhid dan Rahmatan lil-‘Alamin
Dinul Islam dibawa Nabi Muhammad SAW. sebagai rahmatan lil-‘alamin. Allah menegaskan dalam QS. Al-Anbiya ayat 107:
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Ayat ini menunjukkan bahwa risalah Islam tidak hanya untuk kaum tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia bahkan seluruh makhluk. Rahmat Islam dapat dirasakan dalam wujud keadilan sosial, keseimbangan ekologis, perdamaian antarumat, dan kemajuan peradaban.
Hubungan Manusia dengan Allah (Hablum minallah)
Hubungan ini merupakan hubungan antara makhluk dengan Khaliq-nya. Allah berfirman dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah. Ibadah dalam Islam tidak hanya dimaknai secara sempit pada shalat, puasa, atau zakat, tetapi mencakup seluruh aktivitas hidup jika diniatkan karena Allah. Belajar dengan tekun, bekerja dengan jujur, berkontribusi pada masyarakat, semua itu bernilai ibadah apabila dilakukan dengan ikhlas.
Selain ibadah, hubungan dengan Allah juga ditunjukkan melalui sikap syukur, sabar, tawakal, dan takwa. Dengan takwa, manusia berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam segala situasi.
Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia (Hablum minannas)
Manusia adalah makhluk sosial. Islam mengatur tata hubungan sosial berdasarkan keadilan, kasih sayang, dan tolong-menolong. Dalam QS. Al-Maidah ayat 2 Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Rasulullah SAW. juga bersabda:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad).
Hal ini berarti hubungan sosial dalam Islam harus dibangun di atas asas manfaat. Mahasiswa misalnya, bisa mengamalkan hablum minannas dengan bekerja sama secara jujur dalam proyek, saling menghargai perbedaan pendapat, serta menolong teman yang mengalami kesulitan. Prinsip ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), bahkan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) merupakan wujud nyata dari ajaran ini.
Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Alam semesta diciptakan Allah sebagai sarana untuk menunjang kehidupan manusia. Tidak ada satu pun ciptaan Allah yang sia-sia. Namun, manusia diberi amanah untuk memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini mengingatkan manusia agar tidak bersikap serakah terhadap alam. Krisis lingkungan, polusi, dan perubahan iklim pada hakikatnya adalah konsekuensi dari gaya hidup yang tidak seimbang. Dalam perspektif Islam, alam adalah amanah, bukan warisan. Oleh sebab itu, sering dikatakan: “Jangan anggap alam sebagai warisan nenek moyang, tetapi anggaplah alam sebagai titipan anak cucu.”
Bagi kita semua kesadaran ekologis ini sangat penting. Mereka yang kelak terjun ke dunia industri, teknologi, dan pembangunan, harus mampu menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini
Amin Whae | 2025
Foto : republika.co.id
Doe (dalam Muntohar, 2010: 36) mengartikan bahwa spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki. Spiritualitas memberi arah dan arti pada kehidupan. Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita; suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung kepada Tuhan, atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.
Menurut Zahar, spiritualitas adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri. Menurut Ahmad Suaedy, spiritualitas adalah dorongan bagi seluruh tindakan manusia, maka spiritualitas baru bisa dikatakan dorongan bagi respons terhadap problem-problem masyarakat konkret dan kontemporer. Adapun Ginanjar (2004:107-109) berpendapat spiritualitas merupakan energi dalam diri yang menimbulkan rasa kedamaian dan kebahagiaan tidak terperi yang senantiasa dirindukan kehadirannya.
Dalam perspektif Islam, spirit sering dideskripsikan sebagai jiwa halus yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam diri manusia. AI-Qusyairi dalam tafsirnya Latha'if al-lsyarat menunjukkan bahwa roh memang lathifah (jiwa halus) yang ditempatkan oleh Tuhan dalam diri manusia sebagai potensi untuk membentuk karakter yang terpuji. Roh merupakan fitrah manusia, yang dengan roh manusia mampu berhubungan dengan Tuhan sebagai kebenaran sejati (al-haqiqah). Karena adanya roh, manusia mempunyai bakat untuk bertuhan, artinya roh-lah yang membuat manusia mampu mengenal Tuhan sebagai potensi bawaan sejak lahir. Dengan adanya roh, manusia mampu merasakan dan meyakini keberadaan Tuhan dan kehadiran-Nya dalam setiap fenomena di alam semesta ini. Atas dasar itulah, sebenarnya manusia memiliki fitrah sebagai manusia yang bertuhan.
Roh manusia menurut Islam adalah suci, karena ia adalah karunia llahi yang dipancarkan dari Zat Tuhan. Roh bersemayam di dalam hati (qalb) sehingga dari hati terpancar kecerdasan, keinginan, kemampuan, dan perasaan. Ketika hati ditempati roh, maka hati menjadi bersinar dan memancarkan cahaya kebaikan Tuhan. Hati yang terpancari oleh kebaikan Tuhan disebut dengan hati nurani (hati yang tercahayai).
Namun pengaruh roh dalam hati manusia tidak selamanya maksimal. Pada saat-saat tertentu cahaya roh meredup sehingga hati sulit untuk menangkap kebenaran yang terpapar di alam semesta ini. Hati yang mengalami keredupan cahaya roh disebut dengan hati yang gelap (qalb zhulmani). Ketika manusia memiliki hati yang gelap, ia menjadi sulit untuk tetap terhubung dengan kebenaran sejati yang universal. Akibatnya, manusia menjadi mudah untuk berbuat maksiat dan keburukan. (aminwhae)
selengkapnya dapat diunduh di sini